Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
2/Pid.Pra/2016/PN Tas | 1.UZWAR HIDAYAT 2.MARUDUT HUTABALIAN 3.ERWAN EFENDI |
Kepala Kepolisian Resort Seluma | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Senin, 03 Okt. 2016 | ||||||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||||||
Nomor Perkara | 2/Pid.Pra/2016/PN Tas | ||||||||
Tanggal Surat | Senin, 03 Okt. 2016 | ||||||||
Nomor Surat | 2/Pra.Per/2016/PN Tas | ||||||||
Pemohon |
|
||||||||
Termohon |
|
||||||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||||||
Petitum Permohonan |
Praperadilan pada hakikatnya adalah sebuah peradilan untuk pengujian penggunaan kewenangan penyidik dalam tahap praadjudikasi dalam sistem peradilan Indonesia. Berangkat dari adegium latin Power Tends To Corrupt, maka oleh para pemikir hukum acara pidana Indonesia dibentuklah sebuah lembaga bernama praperadilan. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan penegakan hak asasi manusia yakni konsep Habeas Corpus.[1] Maka ia diberikan kompetensi menguji (testing) tindakan penyidik, dalam hal ini terutama penangkapan dan penahanan dalam tahapan penyidikan, apakah sudah sesuai dengan standar yang berlaku. Karena tindakan tersebut merupakan “Indruising” terhadap hak-hak dan kebebasan seseorang sehingga membutuhkan pengujian dari Pengadilan.[2] Target yang hendak dicapai adalah bahwa kekuasaan penyidik tidak digunakan secara sewenang-wenang dan dapat melanggar Hak Asasi Manusia. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang paling menakutkan pada saat ini. Siapapun yang kemudian dijadikan tersangka dalam sebuah perkara Tindak Pidana Korupsi berpotensi mendapatkan stigma negatif serta diadili berdasarkan opini publik (Trial by Public Oppinion). Siapapun pasti sepakat bahwa tindak pidana korupsi adalah benar merugikan semua pihak. Akan tetapi yang menjadi perlu untuk direfleksikan, apakah memang penanganan kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi sudah menggunakan standar Hak Asasi Manusia yang tinggi sebagaimana buah pemikiran dari para pemikir hukum acara pidana ketika bersepakat membentuk Undang-undang No. 8 Tahun 1981? Alangkah ironisnya bila terhadap tujuan penegakan hukum, dilanggengkan adanya praktik-praktik pelanggaran hak hak asasi manusia. Pada faktanya para tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi seringkali hanyalah merupakan orang-orang tidak berdaya yang dituntut pertanggungjawabannya atas kesalahan atasannya. Seringkali mereka tidak mengerti apa-apa dalam perkara tersebut. Jangankan menerima uang sepeser, sebersit niat jahat pun tidak pernah ada dalam kepala mereka. Lihatlah contoh nyata dalam dugaan tindak pidana korupsi terhadap Hendra Saputra, Office Boy yang terjerat dalam dugaan tindak pidana korupsi videotron di Kementria Koperasi. Dirinya tidak tahu menahu tentang perbuatan atasannya, berakibat kepada dijadikannya dirinya menjadi tersangka dan kemudian diadili. Peradilan terhadap dirinya tentu saja membawa dampak negatif terhadapnya. Dengan dalih penegakan hukum, mereka yang lemah akan selalu dikorbankan. Saat ini Hendra Saputra akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi.[3] Berkaca terhadap kasus tersebut, maka adalah merupakah hal yang sangat buruk bila ternyata penegakan hukum dilakukan dengan cara yang membabi buta dan tidak memperhatikan hak-hak mereka yang dijadikan tersangka. Penetapan tersangka yang tergesa-gesa dan tanpa bukti yang kuat berakibat merugikan terhadap mereka yang diduga melakukan tindak pidana tersebut. Padahal secara nyata dan tegas kita menganut asas praduga tidak bersalah dalam sistem peradilan pidana kita. Perlu dicatat bahwa Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process of law. Sebuah syarat dalam konsep negara hukum (The Rule of Law).[4] Untuk itu adalah sangat baik dan beralasan penuh apabila kemudian mereka yang dijadikan tersangka menguji dasar-dasar dijadikannya mereka sebagai tersangka. Saat ini dalam perumusan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru (RKUHAP), konsep praperadilan akan ditanggalkan dan diganti dengan konsep hakim pemeriksa pendahuluan. Gagasannya adalah sama, yakni menguji kewenangan penyidik terhadap hak-hak seorang tersangka. Akan tetapi kemudian dalam RKUHAP ini, pengujian oleh Yudikatif menjadi kewajiban penyidik dalam proses penanganan perkara pidana. Hal inilah implementasi dari mekanisme check and balances antar lembaga penegak hukum. Maka dari itu, praperadilan terkhusus dalam perkara tindak pidana korupsi hendaknya janganlah dianggap sebagai cara-cara untuk melepaskan diri dari jeratan tindak pidana. Ia harus dipandang sebagai lembaga pengawasan dan pengujian terhadap kewenangan alat negara. Terkait hal itu, Ketua Muda Urusan Pidana Adi Andojo Soetjipto dalam harian Kompas tanggal 3 Desember 2013 halaman 6 Bagian Opini tentang “Rasa Keadilan” membagikan pendapatnya sebagai berikut: “…….apabila ada seorang hakim yang membebaskan Terdakwa karena dianggap kesalahannya tidak terbukti janganlah lalu dia dianggap sebagai hakim yang pengecut dan yang ‘prokorupsi’” Maka, dengan demikian, Judul dalam permohonan praperadilan ini adalah: “Menegakkan Hukum Tanpa Melawan Hukum”
Pasal 77 KUHAP Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang dalam undang-undang ini tentang:
“bahwa selanjutnya syarat yang mendasar yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bahwa penahanan harus didasarkan pada alat bukti yang cukup yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti di antara alat-alat bukti yang sah yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dan apakah itu telah dipenuhi oleh Termohon, dan itu sejalan pula dengan Saksi Ahli yang diajukan Pemohon yaitu DR.CHAIRUL HUDA, SH, MH yang berpendapat bahwa bukti-bukti yang ada untuk menentukan seseorang dijadikan Tersangka, dapat diuji di sidang praperadilan atau dengan kata lain sidang praperadilan dapat menguji materi pokok perkara;”
“Menimbang, bahwa Termohon di dalam jawabannya berpendapat bahwa Penetapan Tersangka terhadap Pemohon bukanlah tindakan upaya paksa dengan alasan bahwa sampai dengan disidangkannya permohonan praperadilan aquo, Termohon belum melakukan upaya paksa apapun terhadap diri Pemohon, baik berupa penangkapan, penahanan, pemasukan rumah, penyitaan atau penggeledahan terhadap diri Pemohon, bahkan di persidangan Kuasa Termohon mempertanyakan apakah Penetapan Tersangka merupakan tindakan upaya paksa ;
Menimbang, bahwa pendapat Termohon tersebut di atas secara hukum tidak dapat dibenarkan, karena harus dipahami arti dan makna “tindakan upaya paksa” secara benar, bahwa segala tindakan Penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan Penuntut Umum dalam proses penuntutan adalah merupakan tindakan upaya paksa, karena telah menempatkan atau menggunakan label “Pro Justisia” pada setiap tindakan;”
“...Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya...”;
Bahwa dikarenakan dasar dari pengajuan gugatan ini adalah pengujian penetapan tersangka, maka permohonanan ini berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap pengujian atas status penahanan para tersangka. Hal ini terjadi karena Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang merupakan tersangka akibat adanya bukti yang cukup;
Tidak adanya bukti yang cukup untuk membuktikan Unsur “Melawan Hukum” atau unsur “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” dalam penetapan tersangka dan penahanan terhadap Para Pemohon Belum adanya penghitungan kerugian keuangan negara dalam Perkara A Quo yang mengakibatkan tidak adanya bukti yang cukup dalam penetapan tersangka para pemohon dan penahanannya Tidak adanya bukti yang cukup untuk membuktikan unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dan Unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” ; Tidak adanya bukti yang cukup untuk menyatakan para pemohon telah melakukan tindakan dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi Alasan Subyektif dan Obyektif Termohon dalam Melakukan Penahanan terhadap Para Pemohon Tidaklah tepat dan Tidak berdasarkan hukum
Atas alasan alasan hukum tersebut diatas maka dengan ini kami mohon kepada Hakim yang memeriksa permohonan praperadilan ini untuk memutus dengan amar putusan sebagai berikut: PROVISI: Memerintahkan Termohon demi hukum agar tidak melimpahkan berkas perkara dari Penyidikan ke Penuntutan hingga ke Pengadilan, sebelum selesainya pemeriksaan permohonan praperadilan a quo; POKOK PERKARA
Atau apabila Hakim berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono) |
||||||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |