Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2018/PN Tas | Dr. HUSNI TAMRIN, S.H., M.H. | KEPOLISIAN RESOR SELUMA | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Jumat, 07 Sep. 2018 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2018/PN Tas | ||||
Tanggal Surat | Jumat, 07 Sep. 2018 | ||||
Nomor Surat | 1/Pid.Pra/2018/PN Tas | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan Tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut MOCHTAR KUSUMAATMADJA merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini; 1) Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/PID.PRAP/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011; f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut : Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan; Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan; g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan; h. Bahwa keberadaan lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X bagian kesatu HUHAP dan BAB XII bagian kesatu KUHAP Jo. BAB VIII Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (selanjutnya disebut UUKPK), secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain diuar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap Hak Asasi setiap orang termasuk dalam hal ini Pemohon. Menurut LUHUT M. PANGARIBUAN, lembaga praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang; i. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/ upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/ penuntut umum sudah sesuai dengan undang undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan praperadilan menyangkut sah tidaknya penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan; j. Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya; k. Bahwa apabila kita melihat pendapat S.TANUSUBROTO, yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga praperadilan sebenarnya memberikan peringatan: Juga ditegaskan kembali dalam penjelasaan umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke -6 yang berbunyi: l. Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan Praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,penghetian penyidikan, atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 menyebutkan bahwa: m. Bahwa apabila dalam peraturan perundang-undangan atau hukum acara pidana tidak mengatur adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang, itu tidak berarti kesalahan Termohon tidak boleh dikoreksi, melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi melalui lembaga peradilan dalam hal ini melalui lembaga praperadilan, yang dibentuk untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan /kesewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini penyidik kepolisian. Tentunya, Hakim tidak dapat menolak hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau tidak diatur oleh peraturan-perundang undangan dalam hal ini, peranan Hakim untuk menemukan hukum memperoleh tempat yang seluas-luasnya . hal ini secara tegas dan jelas telah diamanatkan dalam Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1 undang undang no 48 tahun 2009 tentang kekuasaan keHakiman yang berbunyi sebagai berikut: n. Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehinggga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan Tersangka) tidak dipenuhi, maka sudah barang tentu proses menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan; o. Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu Pemohon, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui lembaga praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu selain sesuai dengan spiritatau ruh atau jiwaKUHAP, juga sesuai dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang berbunyi: Pasal 28 D Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menentukan: Sehingga dengan demikian secara jelas dan tegas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara. II. KAPASITAS HUKUM PEMOHON 1. Bahwa PEMOHON telah ditetapkan oleh TERMOHON sebagai Tersangka berdasarkan Sprindik tanggal 18 Juli 2018, Surat Panggilan Nomor : S.Gil/416/VIII/2018/Dit Reskrimsus tanggal 24 Agustus 2018 atas nama Dr. HUSNI TAMRIN, SH MH dan Surat Perintah Penahanan Nomor. SP.Han/34/VIII/2018/Ditreskrimsus tanggal 28 Agustus 2018 atas nama Dr. HUSNI TAMRIN, SH MH, dalam perkara dugaan tindak pidana Korupsi pada kegiatan pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan diperbarui dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ke (1), 56 ke (1) KUHP. 2. Bahwa berdasarkan Sprindik, Surat Panggilan dan Surat Perintah Penahanan sebagaimana tersebut di atas PEMOHON yaitu Dr. HUSNI TAMRIN, SH MH telah diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Tersangka pada Hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018 sejak pukul 09.00 WIB s/d + pukul 12.00 WIB di Ruang No. 14 Unit 1 Subdit III Tipidkor Dit Reskrimsus Polda Bengkulu jalan Bhayangkara No. 2 Bengkulu dan telah dilakukan penahanan pada hari itu juga. III. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN 2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti. 3. “Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan Tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”; 4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon Tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu; 5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon Tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon Tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon; 6. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepolisian Daerah (POLDA) Bengkulu. 7. Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon Tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo. 1. Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan Tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan; 2. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut YAHYA HARAHAP dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum; 3. Lebih lanjut, YAHYA HARAHAP menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana; 4. YAHYA HARAHAP juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon; 5. Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan Tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan. C. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA 1. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP; 2. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Pelaksanaan Kegiatan Peningkatan Jalan Nanti Agung – Dusun Baru, Kecamatan IlirTalo, Kabupaten Seluma pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma Tahun 2013, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sesuai dengan Laporan Polisi Nomor: LP-A/700/VII/2018/Siaga SPKT III, Tanggal 12 Juli 201 kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon karena hanya berdasarkan kesaksian berberapa saksi yang telah dibantah di persidangan tersangka sebelumnya dan telah dikuatkan juga di dalam Putusan bahwa tidak ada keterkaitan sama sekali DR. HUSNI TAMRIN. S.H., M.H.; 3. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka DAPAT DINYATAKAN TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM. 1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan; 2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak MONTESQUIEU mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati; 3. OEMAR SENO ADJI menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”; 4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang dimaksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. 5. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut SJACHRAN BASAH “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas); 6. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi : 7. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
a. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TIDAK DIDASARI PADA BUKTI YANG CUKUP 1. saksi SINANDAR NATA KUSUMA
2. Saksi HERAWANSYAH
3. Saksi FERRI ANDIRIAN
PEMOHON bulan Agustus 2013 sebagai berikut : HUSNI TAMRIN : ”saya HUSNI FER yang punya
FERII ANDIRIAN : “Bendera mana yang akan
HUSNI TAMRIN : “gimana pengumuman bisa Bahwa pengakuan-pengakuan FERRI ANDIRIAN sebagaimana tersebut di atas lah dijadikan dasarkan oleh Penyidik menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, sedangkan fakta hukumnya :
4. Saksi ERLAN, saksi M. NASIR, saksi JOHAN EFENDI, saksi SISMAN SYAHPUTRA, saksi JUNAIDI alias WAN GIDIK, saksi YEFDI RAUF, saksi SIDUHRAMAN, saksi TAKRIL, saksi NURMAN SYARIFUDIN, saksi HENGKI PRATAMA , saksi SULASTI DARMI dan saksi ZELMAN dan saksi-saksi yang lain tidak dapat membuktikan secara formil keterlibatan PEMOHON dalam proyek pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013 • Bahwa karena peningkatan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak didasarkan alat bukti yang cukup tapi hanya berdasarkan cerita dan pernyataan para saksi yang tidak didukung bukti-bukti hukum yang lain, maka penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum • Bahwa oleh karena penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak sah dan batal demi hukum maka PENETAPAN PEMOHON sebagai TERSANGKA harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. b. TIDAK SAHNYA PENYIDIKAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON • Bahwa penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON hanya didasarkan oleh Keterangan saksi SINANDAR NATA KUSUMA, saksi HERAWANSYAH, saksi FERRI ANDIRIAN, Saksi ERLAN, saksi M. NASIR, saksi JOHAN EFENDI, saksi SISMAN SYAHPUTRA, saksi JUNAIDI alias WAN GIDIK, saksi YEFDI RAUF, saksi SIDUHRAMAN, saksi TAKRIL, saksi NURMAN SYARIFUDIN, saksi HENGKI PRATAMA , saksi SULASTI DARMI dan saksi ZELMAN dan saksi-saksi yang lain tidak dapat membuktikan secara formil keterlibatan PEMOHON dalam proyek pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013; • Bahwa penyidikan yang dilakukan atas dasar cerita dan pernyataan saksi-saksi yang tidak berdasarkan bukti-bukti formil dan bukti-bukti hukum yang sah tidaklah dapat dijadikan dasar bagi TERMOHON untuk melakukan penyidikan sehingga penyidikan yang dilakukan kepada PEMOHON harus dinyatakan tidak sah dan proses penyidikan harus dihentikan. F. PEMOHON PADA SAAT ITU BUKAN PENYELENGGARA NEGARA Bahwa melihat dari Pengertian Penyelenggara Negara dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU 28/1999”), yang menyatakan sebagai berikut: Bahwa Pemohon Kami tekankan pada tahun 2013 bukan penyelenggara negara, sehingga Pemohon tidak memiliki kewenangan untuk memerintah/mengarahkan dan atau menggunakan jabatan guna kepentingan proyek peningkatan jalan nanti Agung – Dusun Baru Kecamatan Ilir Talo Kabupaten Seluma. Bahwa Pemohon tidak pernah terbukti memperkaya orang lain. Ini lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan. Sedangkan Penyidik TIDAK PERNAH DAPAT MEMBUKTIKAN bahwa kekayaan Pemohon bertambah secara tidak normal dari sebelumnya. Dan tidak ada sama sekali bukti baik di persidangan para Terdakwa yang terlibat sebelumnya bahwa Pemohon MENGUNTUNGKAN DIRI ATAU ORANG LAIN ATAU SUATU KORPORASI”, artinya adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang. Sehingga dengan alasan diatas TIDAK LAYAK dan TIDAK PANTAS Pemohon dikenakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan diperbarui dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ke (1), 56 ke (1) KUHP karena tidak ada bukti kuat atas tuduhan ini semua kepada Pemohon; Secara historis, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR ditujukan kepada subjek yang merupakan seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kekuasaan, meskipun dalam UU Tipikor dan perubahannya, tidak secara tegas menyatakan demikian. Secara historis ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berasal dari norma hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang kemudian diadposi kedalam UU TIPIKOR dengan melakukan sedikit perubahan pada beberapa frase; Pasal tersebut merupakan delik formil (formeel delict) karena perbuatan yang hendak dipidana adalah manifestasi dari perbuatan seorang pegawai negeri atau kedudukan seorang pejabat publik yang secara tidak patut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan segala akibat hukumnya. Sementara pada Pasal 3 UU Tipikor juga memiliki tiga unsur yaitu (a) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi; (b) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dari rumusan deliknya, Pasal ini ditujukan kepada pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kewenangan tertentu. Hal tersebut dapat ditasfirkan dari adanya unsur “menyalahgunakan kewenangan” yang dimana frase tersebut secara inherent selalu menggandung sifat melawan hukum. Selain itu dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang mengkaitkan unsur menyalahgunakan kewenangan dengan ketentuan Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), yang juga hanya berlaku bagi pegawai negeri. Dalam Pasal ini harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa pegawai negeri atau pejabat publik tersebut memiliki kewenangan untuk kemudian dibuktikan bahwa ada kewenangan yang diselewengkan sebagai sarana dan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Sama halnya dengan rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, perumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 juga dirumuskan secara formil (formeel delict). Ditegaskan dalam penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tersebut harus dipertimbangkan adanya kesengajaan dan kausalitas antara subjek tindak pidana, unsur melawan hukum, dan unsur mempekaya diri sendiri atau orang lain. Harus ada hubungan kausalitas yang nyata bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang dilakukan dengan sarana melawan hukum atau menyalahgunakan kewenanagan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tersebut mengakibatkanpegawai negeri atau pejabat publik atau orang lain yang terkait tersebut memperoleh kekayaan yang tidak wajar. Jika tidak bisa dibuktikan maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. IV. PETITUM Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tais yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut : Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tais yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |