Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TAIS
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2018/PN Tas Dr. HUSNI TAMRIN, S.H., M.H. KEPOLISIAN RESOR SELUMA Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 07 Sep. 2018
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2018/PN Tas
Tanggal Surat Jumat, 07 Sep. 2018
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2018/PN Tas
Pemohon
NoNama
1Dr. HUSNI TAMRIN, S.H., M.H.
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN RESOR SELUMA
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan Tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut ANDI HAMZAH (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai Tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak Tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan Tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka;

b.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1)    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka;
2)    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3)    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c.    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1)    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2)    Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan Tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut MOCHTAR KUSUMAATMADJA merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini;
e.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak Tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

1)    Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/PID.PRAP/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
2)    Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
3)    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/PID.PRAP/2012/PN.JKT.SEL tanggal 27 november 2012;
4)    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL tanggal 15 Februari 2015;
5)    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL tanggal 26 Mei 2015;
6)    Dan lain sebagainya.

f.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

g.    Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;

h.    Bahwa keberadaan lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X bagian kesatu HUHAP dan BAB XII bagian kesatu KUHAP Jo. BAB VIII Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi (selanjutnya disebut UUKPK), secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain diuar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap Hak Asasi setiap orang termasuk dalam hal ini Pemohon. Menurut LUHUT M. PANGARIBUAN, lembaga praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang;

i.    Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/ upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/ penuntut umum sudah sesuai dengan undang undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan praperadilan menyangkut sah tidaknya penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;

j.    Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya;

k.    Bahwa apabila kita melihat pendapat S.TANUSUBROTO, yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga praperadilan sebenarnya memberikan peringatan:
1)    Agar penegak Hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;
2)    Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia;
3)    Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu;
4)    Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan;
5)    Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka;
Bahwa apa yang diuraikan di atas, yaitu lembaga praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia, telah dituangkan secara tegas dalam konsiderans menimbang huruf (a)dan (c) KUHAP dengan sendirinya menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi:
(a)    “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
(b)    “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan undang-undang dasar 1945.”

Juga ditegaskan kembali dalam penjelasaan umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke -6 yang berbunyi:
“Pembangunan yang sedemikian itu dibidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar di capai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang  merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya republik indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan pancasil Dan Undang-undang dasar 1945”

l.    Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan Praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,penghetian penyidikan, atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95 menyebutkan bahwa:
1)    Tersangka terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;
2)    Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1) Yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
Dengan kata lain Pasal 95 ayat 1 dan 2 pada pokoknya merupakan tindakan penyidik atau penuntut umum dalam rangka menjalankan wewenangnya yang dilakukukan tanpa alasan hukum, sehingga melanggar hak asasi atau harkat martabat kemanusiaan atau merugikan seseorang in casu adalah Pemohon. Oleh karena itu tindakan lain yang dilakukan oleh Termohon menjadi objek permohonan praperadilan.

m.    Bahwa apabila dalam peraturan perundang-undangan atau hukum acara pidana tidak mengatur adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang, itu tidak berarti kesalahan Termohon tidak boleh dikoreksi, melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi melalui lembaga peradilan dalam hal ini melalui lembaga praperadilan, yang dibentuk untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan /kesewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini penyidik kepolisian. Tentunya, Hakim tidak dapat menolak hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau tidak diatur oleh peraturan-perundang undangan dalam hal ini, peranan Hakim untuk menemukan hukum memperoleh tempat yang seluas-luasnya . hal ini secara tegas dan jelas telah diamanatkan dalam Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1 undang undang no 48 tahun 2009 tentang kekuasaan keHakiman yang berbunyi sebagai berikut:
PASAL 10 AYAT 1:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”.
PASAL 5 AYAT 1:
“Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

n.    Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehinggga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan Tersangka) tidak dipenuhi, maka sudah barang tentu proses menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan;

o.    Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu Pemohon, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui lembaga praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu selain sesuai dengan spiritatau ruh atau  jiwaKUHAP, juga sesuai dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang berbunyi:
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan,dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

Pasal 28 D Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menentukan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Sehingga dengan demikian secara jelas dan tegas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.

II.    KAPASITAS HUKUM  PEMOHON

1.    Bahwa PEMOHON telah ditetapkan oleh TERMOHON sebagai Tersangka berdasarkan Sprindik tanggal 18 Juli 2018, Surat Panggilan Nomor : S.Gil/416/VIII/2018/Dit Reskrimsus tanggal 24 Agustus 2018 atas nama Dr. HUSNI TAMRIN, SH MH dan Surat Perintah Penahanan Nomor. SP.Han/34/VIII/2018/Ditreskrimsus tanggal 28 Agustus 2018 atas nama Dr. HUSNI TAMRIN, SH MH, dalam perkara dugaan tindak pidana Korupsi pada kegiatan pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan  pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan diperbarui dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ke (1), 56 ke (1) KUHP.

2.    Bahwa berdasarkan Sprindik, Surat Panggilan  dan Surat Perintah Penahanan sebagaimana tersebut di atas PEMOHON yaitu Dr. HUSNI TAMRIN, SH MH telah diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Tersangka pada Hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018 sejak pukul 09.00 WIB s/d + pukul 12.00 WIB di Ruang No. 14 Unit 1 Subdit III Tipidkor Dit Reskrimsus Polda Bengkulu jalan Bhayangkara No. 2 Bengkulu dan telah dilakukan penahanan pada hari itu juga.

III.    ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A.    PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
1.    Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan Tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

2.    Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

3.    “Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan Tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”;

4.    Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon Tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;

5.    Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon Tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon Tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon;

6.    Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepolisian Daerah (POLDA) Bengkulu.

7.    Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon Tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.
B.    TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

1.    Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan Tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan;

2.    Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut  YAHYA HARAHAP dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum;

3.    Lebih lanjut, YAHYA HARAHAP menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;

4.    YAHYA HARAHAP juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon;

5.    Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan Tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

C.    TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

1.    Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP;

2.    Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Pelaksanaan Kegiatan Peningkatan Jalan Nanti Agung – Dusun Baru, Kecamatan IlirTalo, Kabupaten Seluma pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma Tahun 2013, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999  jo Undang-Undang  Nomor  20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sesuai dengan Laporan Polisi Nomor: LP-A/700/VII/2018/Siaga SPKT III, Tanggal 12 Juli 201 kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon karena hanya berdasarkan kesaksian berberapa saksi yang telah dibantah di persidangan tersangka sebelumnya dan telah dikuatkan juga di dalam Putusan bahwa tidak ada keterkaitan sama sekali DR. HUSNI TAMRIN. S.H., M.H.;

3.    Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka DAPAT DINYATAKAN TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR ATAS HUKUM.
 
D.    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

1.    Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;

2.    Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak MONTESQUIEU mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;

3.    OEMAR SENO ADJI menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”;

4.    Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang dimaksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu.

5.    Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut SJACHRAN BASAH “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas);

6.    Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
a.    ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
b.    dibuat sesuai prosedur; dan
c.    substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.
BAHWA SEBAGAIMAN TELAH PEMOHON URAIKAN DIATAS, BAHWA PENETAPAN TERSANGKA PEMOHON DILAKUKAN DENGAN TIDAK TERPENUHINYA PROSEDUR MENURUT KETENTUAN PERATURAN-PERUNDANG UNDANGAN YANG BERLAKU.

7.    Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:
a.    “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
b.    Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
8.    Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan Tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.


E.    TIDAK SAHNYA PENETAPAN TERSANGKA OLEH TERMOHON

a.    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA TIDAK DIDASARI PADA BUKTI YANG CUKUP
Bahwa perkara yang disangkakan kepada PEMOHON bermula dari pengakuan saksi-saksi yaitu :

1.    saksi SINANDAR NATA KUSUMA

  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA selaku kontraktor menyatakan bahwa sebagai pihak yang dipekerjakan dalam proyek pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013 dan hanya diberikan upah untuk melakukan pengawasan;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA menyatakan PEMOHON mengetahui pergantian Wakil Direktur CV. EB Group dari sdr Erlan kepada saksi SINANDAR NATA KUSUMA;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA menyatakan pernah bersama-sama PEMOHON dalam rangka membuka rekening giro atas nama CV. EB Group;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA mengajukan uang muka sebesar 30 % atas pekerjaan proyek pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA pernah menyerahkan pencairan termyn uang muka kepada PEMOHON;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA pernah PEMOHON menuliskan cek Bank Bengkulu No. 795126 tanggal 26 September 2013;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA pernah bersama-sama dengan PEMOHON ke Dinas Pekerjaan Umum mengajukan termyn 95 % proyek pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATAKUSUMA pernah bersama-sama dengan PEMOHON ke Bank Bengkulu untuk mencairkan termyin 95 % pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA diberikan honor Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) oleh PEMOHON;
  • Bahwa  pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA pernah mengajukan pencairan 5 % bersama PEMOHON ke Bank Bengkulu proyek pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013;
  • Bahwa pengakuan SINANDAR NATA KUSUMA pernah PEMOHON menulis cek Bank Bengkulu No. 795128 tanggal 11 Desember 2013;
  • Bahwa pengakuan-pengakuan SINANDAR sebagaimana tersebut di atas lah dijadikan dasarkan oleh Penyidik menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, sedangkan fakta hukumnya :
  • Bahwa SINANDAR NATA KUSUMA lah yang menanda tangani kontrak perjanjian kerja No. 620/57/SPK/DPU-BM/IX/2013 tanggal 24 September 2013, kelengkapan administrasi maupun lainnya, tidak ada sedikitpun dokumen yang ditanda tangani oleh PEMOHON bahkan berkaitan dengan dokumen pun tidak ada nama PEMOHON;
  • Bahwa pada saat pembukaan rekening perusahaan CV. EB Group maupun pengajuan termyn ataupun pengajuan pencairan pada Bank Bengkulu seluruh formulir seluruhnya berisi identitas SINANDAR NATA KUSUMA tidak ada sedikitpun dokumen pembukaan rekening ataupun encairan pada Bank Bengkulu ada tanda tangan PEMOHON;
  • Bahwa SINANDAR NATA KUSUMA tidak dapat membuktikan bahwa SINANDAR NATA KUSUMA telah menerima honor  maupun SINANDAR telah menyerahkan uang dari proyek pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013 kepada PEMOHON;
  • Bahwa dapat kami kutip kembali Putusan Banding No. 4/Pid.Sus-TPK/2016/PT. Bengkulu atas nama Terdakwa SINANDAR NATA KUSUMA pada proyek pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013 yang telah berkuatan hukum tetap pada halaman  70-71 yang berisi ”Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi tingkat banding memperhatikan dengan seksama baik bukti-bukti-bukti maupun fakta-fakta hukum dalam perkara ini, telah terbukti bahwa semua uang yang ditransfer ke rekening Bank Bengkulu Cabang Tais No. 303.01.07.00400.7 atas nama CV. EB Group/SINANDAR NATA KUSUMA (Terdakwa) sebagai Wakil Direktur telah dicairkan oleh Terdakwa, sedangkan keterangan Terdakwa yang menyatakan bahwa uang yang telah Terdakwa cairkan tersebut semuanya telah terdakwa serahkan kepada HUSNI TAMRIN, SH MH dan Terdakwa hanya menerima Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sebagai upah Terdakwa selama 2 (dua) bulan yang ditugasi mengawasi proyek jalan yang dijanjikan oleh DR. HUSNI TAMRIN, S.H., M.H. ternyata tidak didukung oleh bukti-bukti yang sah menurut hukum, dan hal tersebut terdakwa dapat melakukan tuntutan hukum dikemudian hari terhadap DR. HUSNI TAMRIN, S.H., M.H. sehingga berdasarkan pertimbangan di atas maka Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi tingkat banding berpendapat, bahwa Terdakwa telah memperoleh harta atau uang sebesar Rp 432.802.719,68 (empat ratus tiga puluh dua juta delapan ratus dua ribu tujuh ratus sembilan belas rupiah enam puluh delapan sen) dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut”.

2.    Saksi HERAWANSYAH

  • Bahwa saksi HERAWANSYAH pernah dua kali bertemu dengan PEMOHON yaitu pertama di Rumah Makan Kabita (rumah makan Sunda) dekat bendungan Seluma, kedua di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma;
  • Bahwa pengakuan-pengakuan HERAWANSYAH sebagaimana tersebut di atas lah dijadikan dasarkan oleh Penyidik menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, sedangkan fakta hukumnya :
  • Bahwa memang benar PEMOHON pernah bertemu dengan HERAWANSYAH yang pada saat itu sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kab. Seluma sedangkan kapasitas PEMOHON hanyalah sebagai Ketua NGO Perisai Rakyat Bengkulu  mengawasi kegiatan pembangunan di Kapupaten Seluma yang tidak memiliki kapasitas untuk mengatur dan meminta proyek apalagi kalau untuk mengatur HERAWANSYAH selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kab. Seluma.

3.    Saksi FERRI ANDIRIAN

  • Bahwa saksi FERRI ANDIRIAN menyatakan pernah berkomunikasi dengan

PEMOHON bulan Agustus 2013 sebagai berikut :

HUSNI TAMRIN    : ”saya HUSNI FER yang punya
      paket jalan Nanti Agung, tolong
      bantu”
FERRI ANDIRIAN : ”barang ini sudah mau tayang,
 kau siap atau tidak”
HUSNI TAMRIN    : ”iya, saya siap”
FERRI ANDIRIAN : ”kalau siap besok tayang”

  • Bahwa selanjutnya tanggal 16 Agustus 2013 terjadi lagi pembicaraan antara FERRI ANDIRIAN dengan PEMOHON sebagai beikut :

FERII ANDIRIAN  : “Bendera mana yang akan
      dibawa?”
HUSNI TAMRIN    : CV. EB Group, sdr Erlan yang
                                 maju, aman atau tidak”
FERRI ANDIRIAN: “kalau lihat penawaran yang
                                masuk aman”

  • Bahwa terjadi juga pembicaraan antara FERRI ANDIRIAN dengan PEMOHON tanggal 18 Agustus 2013 sebagai berikut :

HUSNI TAMRIN   : “gimana pengumuman bisa
      dipercepat atau tidak, kalau
      bisa dipercepat tolong bantu
      kami biar cepat kerja juga”
FERRI ANDIRIAN : “tidak bisa dipercepat, jadwal
                                  sesuai prosedur yang penting
                                  situ menang”

Bahwa pengakuan-pengakuan FERRI ANDIRIAN sebagaimana tersebut di atas lah dijadikan dasarkan oleh Penyidik menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, sedangkan fakta hukumnya :

  • Bahwa percakapan tersebut adalah pengakuan sepihak FERRI ANDIRIAN dan merupakan cerita yang dibuat-buat tanpa didukung bukti-bukti yang valid.
  • Bahwa pada tahun 2013 PEMOHON hanyalah masyarakat biasa yang tidak mungkin dapat mempengaruhi Panitia Lelang yang terdiri dari sdr. EMERAL BALA PUTRA ST MT selaku Ketua Panitia  Lelang, FERRI ANDIRIAN selaku sekretaris Panitia Lelang, TRIE DEFA RUSMAN, BATRA NOVEN AZHARI, ST dan EKA ROSARIA APRIYANI, ST selaku anggota Panitia Lelang
  • Bahwa tidak ada satupun dokumen resmi dalam penawaran tersebut yang mencakup nama PEMOHON baikn dalam dokumen penawaran maupun berkas administrasi perusahaan CV. EB Group.

4.    Saksi ERLAN, saksi  M. NASIR, saksi JOHAN EFENDI, saksi SISMAN SYAHPUTRA, saksi JUNAIDI alias WAN GIDIK, saksi YEFDI RAUF, saksi SIDUHRAMAN, saksi TAKRIL, saksi NURMAN SYARIFUDIN, saksi HENGKI PRATAMA , saksi SULASTI DARMI dan saksi ZELMAN dan saksi-saksi yang lain tidak dapat membuktikan secara formil keterlibatan PEMOHON dalam proyek  pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013

•    Bahwa  karena peningkatan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak didasarkan alat bukti yang cukup tapi hanya berdasarkan cerita dan pernyataan para saksi yang tidak didukung bukti-bukti hukum yang lain, maka penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum
•    Bahwa karena penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak sah dan batal demiv hukum maka penetapan TERMOHON sebagai Tersangka harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.

•    Bahwa oleh karena penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak sah dan batal demi hukum maka PENETAPAN PEMOHON sebagai TERSANGKA harus dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.

b.    TIDAK SAHNYA PENYIDIKAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON

•    Bahwa  penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON hanya didasarkan oleh Keterangan saksi SINANDAR NATA KUSUMA, saksi HERAWANSYAH, saksi FERRI ANDIRIAN, Saksi ERLAN, saksi  M. NASIR, saksi JOHAN EFENDI, saksi SISMAN SYAHPUTRA, saksi JUNAIDI alias WAN GIDIK, saksi YEFDI RAUF, saksi SIDUHRAMAN, saksi TAKRIL, saksi NURMAN SYARIFUDIN, saksi HENGKI PRATAMA , saksi SULASTI DARMI dan saksi ZELMAN dan saksi-saksi yang lain tidak dapat membuktikan secara formil keterlibatan PEMOHON dalam proyek  pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013;

•    Bahwa penyidikan yang dilakukan atas dasar cerita dan pernyataan saksi-saksi yang tidak berdasarkan bukti-bukti formil dan  bukti-bukti hukum yang sah tidaklah dapat dijadikan dasar bagi TERMOHON untuk melakukan penyidikan sehingga penyidikan yang dilakukan kepada PEMOHON harus dinyatakan tidak sah dan proses penyidikan harus dihentikan.

F.    PEMOHON PADA SAAT ITU BUKAN PENYELENGGARA NEGARA
Bahwa Dr. HUSNI TAMRIN, SH MH, dalam perkara dugaan tindak pidana Korupsi pada kegiatan pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan  Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan diperbarui dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ke (1), 56 ke (1) KUHP adalah tidak beralasan karena beliau pada saat pelelangan paket tahun 2013 itu masih menjadi masyarakat biasa, seperti yang diketahui Pemohon menjadi Anggota Legislatif dan Terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Seluma yakni pada Tahun 2014, sedangkan Paket Proyek ini telah dilelang dan dimenangkan pada tahun 2013, bagaimana bisa seorang masyarakat biasa dapat mempengaruhi panitia lelang untuk memenangkan suatu perusahaan untuk dapat dimenangkan, sehingga ini adalah suatu hal yang cacat logika dan tidak dapat diterima kalau Pemohon dapat melakukan hal tersebut seperti yang dituduhkan selama ini, karena beliau bukan dan tidak lagi menjabat sebagai penyelenggara negara;

Bahwa melihat dari Pengertian Penyelenggara Negara dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU 28/1999”), yang menyatakan sebagai berikut:
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian, di dalam Pasal 2 Undang-Undang 28/1999 dijelaskan siapa saja yang termasuk penyelenggara negara, yaitu:
1)    Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2)    Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3)    Menteri;
4)    Gubernur;
5)    Hakim;
6)    Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7)    Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahwa Pemohon Kami tekankan pada tahun 2013 bukan penyelenggara negara, sehingga Pemohon tidak memiliki kewenangan untuk memerintah/mengarahkan dan atau menggunakan jabatan guna kepentingan proyek peningkatan jalan nanti Agung – Dusun Baru Kecamatan Ilir Talo Kabupaten Seluma.
Bahwa Penyidik tidak pernah DAPAT atau MAMPU membuktikan keterlibatan Pemohon dalam pekerjaan peningkatan jalan Nanti Agung - Dusun Baru pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma T.A 2013, ini dilihat dari penanganan perkaran kasus proyek ini hampir 5 tahun menggantung, dan sedikit dipaksakan naik sekarang karena adanya laporan dari orang-orang yang tidak suka kepada Pemohon dan mendekati Tahun Politik. Penyidik juga TIDAK MAMPU MEMBUKTIKAN adanya aliran dana dari Pemohon kepada Kontraktor atau sebaliknya sehingga ini merupakan tuduhan sangat keji dan telah melanggar Hak Asasi Manusia;

Bahwa Pemohon tidak pernah terbukti memperkaya orang lain. Ini lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan. Sedangkan Penyidik TIDAK PERNAH DAPAT MEMBUKTIKAN bahwa kekayaan Pemohon bertambah secara tidak normal dari sebelumnya. Dan tidak ada sama sekali bukti baik di persidangan para Terdakwa yang terlibat sebelumnya bahwa Pemohon MENGUNTUNGKAN DIRI ATAU ORANG LAIN ATAU SUATU KORPORASI”, artinya adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.

Sehingga dengan alasan diatas TIDAK LAYAK dan TIDAK PANTAS Pemohon dikenakan Pasal 2 dan  Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan diperbarui dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ke (1), 56 ke (1) KUHP karena tidak ada bukti  kuat atas tuduhan ini semua kepada Pemohon;

Secara historis, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR ditujukan kepada subjek yang merupakan seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kekuasaan, meskipun dalam UU Tipikor dan perubahannya, tidak secara tegas menyatakan demikian. Secara historis ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berasal dari norma hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang kemudian diadposi kedalam UU TIPIKOR dengan melakukan sedikit perubahan pada beberapa frase;

Pasal tersebut merupakan delik formil (formeel delict) karena perbuatan yang hendak dipidana adalah manifestasi dari perbuatan seorang pegawai negeri atau kedudukan seorang pejabat publik yang secara tidak patut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan segala akibat hukumnya. Sementara pada Pasal 3 UU Tipikor juga memiliki tiga unsur yaitu (a) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi; (b) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dari rumusan deliknya, Pasal ini ditujukan kepada pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kewenangan tertentu. Hal tersebut dapat ditasfirkan dari adanya unsur “menyalahgunakan kewenangan” yang dimana frase tersebut secara inherent selalu menggandung sifat melawan hukum. Selain itu dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang mengkaitkan unsur menyalahgunakan kewenangan dengan ketentuan Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), yang juga hanya berlaku bagi pegawai negeri. Dalam Pasal ini harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa pegawai negeri atau pejabat publik tersebut memiliki kewenangan untuk kemudian dibuktikan bahwa ada kewenangan yang diselewengkan sebagai sarana dan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Sama halnya dengan rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, perumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 juga dirumuskan secara formil (formeel delict).

Ditegaskan dalam penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tersebut harus dipertimbangkan adanya kesengajaan dan kausalitas antara subjek tindak pidana, unsur melawan hukum, dan unsur mempekaya diri sendiri atau orang lain. Harus ada hubungan kausalitas yang nyata bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang dilakukan dengan sarana melawan hukum atau menyalahgunakan kewenanagan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tersebut mengakibatkanpegawai negeri atau pejabat publik atau orang lain yang terkait tersebut memperoleh kekayaan yang tidak wajar. Jika tidak bisa dibuktikan maka perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

IV.    PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tais yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1.    Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Pelaksanaan Kegiatan Peningkatan Jalan Nanti Agung – Dusun Baru, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Seluma Tahun 2013, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999  jo Undang-Undang  Nomor  20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sesuai dengan Laporan Polisi Nomor: LP-A/700/VII/2018/Siaga SPKT III, Tanggal 12 Juli 2018 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan Tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3.    Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
4.    Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
5.    Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
6.    Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tais yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tais yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya